Konsep Adab Syed Muhammad Al-Naquib
Al-Attas
1. Pengertian Adab
Selama
ini pengertian adab hanya difahami secara sempit dan umum, sehingga membawa
konsep adab dalam pengertian yang biasa-biasa saja, pada akhirnya menyamakan
adab dengan sopan santun, etika dan moral.
Menurut
al-Attas, secara etimologi (bahasa); adab berasal dari bahasa Arab yaitu addaba-yu’addibu-ta’dib
yang telah diterjemahkan oleh al-Attas sebagai ‘mendidik’ atau
‘pendidikan’.[1]
Dalam kamus Al-Munjid dan Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang
memilki arti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat sesuai dengan
nilai-nilai agama Islam.[2]
Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos atau ethos,
yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan
perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.[3]
Menurut
al-Attas, akar kata adab tersebut berdasarkan dalam sebuah hadis Rasulullah saw
yang secara jelas mengunakan istilah adab untuk menerangkan tentang didikan
Allah SWT yang merupakan sebaik-baik didikan yang telah diterima oleh
Rasulullah saw. Hadis tersebut adalah: “Addabani Rabbi pa Ahsana Ta’dibi”
: Aku telah dididik oleh Tuhanku maka pendidikanku itu adalah yang terbaik.
Adapun secara istilah (terminology), al-Attas mendefinisi adab sebagai suatu:
Pengenalan
dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanam kedalam manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan
tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan. [4]
Sehingga
dapat dikatakan bahwa adab adalah inti dari ajaran Islam dan tujuan dari
diutusnya Nabi Muhammad saw. Telah diketahui bahwa Nabi Muhammad diutus muka
bumi ini adalah untuk mendidik manusia supaya menjadi manusia yang mulia “Innamā
bu’ithtu li-utammima makārim al akhlāq”.[5]
Sehingga, disampaikan dalam sebuah hadis Rasulullah saw bahwa “muslim yang
sempurna keimanannya adalah unggul akhlaknya (menurut al-Attas akhlak adalah
bahagian dari adab)” (akma lu’l-mu’minin imanan ahsanuhum khulqan).[6]
Maka tidak heran, jika al-Attas menyampaikan dan menjelaskan konsep adab
sebagai inti dari pendidikan Islam.
2. Pentingnya Adab Bagi Manusia
Kata
al-Attas, adab adalah suatu konsep kunci yang pada hakikatnya merupakan inti
dalam proses pendidikan Islam. Adab adalah sebuah metode dalam struktur
konsepnya membimbing beberapa unsur-unsur dalam diri manusia, seperti
pengetahuan (‘ilm), amal (‘amal), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah).[7]
Menurut
al-Attas, terserapnya adab dalam diri akan melahirkan “manusia beradab.
Seterusnya akan melahirkan kepemimpinan yang adil dalam menempatkan segala
sesuatu pada tempat yang benar, selanjutnya ia akan senantiasa berusaha
memperbaiki setiap aspek dirinya, masyarakatnya, negaranya ke tahap yang lebih
baik sesuai dengan tuntunan dari Allah SWT.[8]
Selanjutnya, yang menariknya, dikatakan oleh al-Attas bahwa terserapnya adab
dalam diri, bukan sekedar menghasilkan manusia sebagai warga negara yang baik.[9]
Namun juga melahirkan manusia yang baik secara individu, manusia yang baik yang
dimaksud di sini adalah:
Manusia
yang sadar insaf akan tangungjawabnya kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang
senantiasa disembah; yang memahami dan melaksanakan tangungjawabnya kepada diri
sendiri. Dan kepada masyarakat dengan adil dan yang senantiasa berusaha memperbaik
setiap aspek dirinya ke tahap yang lebih sempurna.[10]
3. Unsur-Unsur Membentuk Adab
Menurut
al-Attas, untuk menciptakan manusia yang beradab, ada beberapa hal yang harus
dikenal, difahami dan dijalani oleh umat Islam, di antaranya:
a. Islamisasi Diri Dari Kejahilan
Menurut
al-Attas, untuk membentuk adab, pertama-tama, umat Islam harus
membebaskan (meng-islamisasi-kan) dirinya dari kejahilan. Adapun yang
dimaksud dengan “islamisasi” itu sendiri adalah:
Pembebasan
manusia yang diawali dengan pembebasan dari tradisitradisi yang berunsur magis,
mitologi, animism, kebangsaan kebudayaan yang bertentangan dengan Islam, dan
sesudah itu pembebasan dari kungkungan sekular terhadap akal dan bahasanya.[11]
Sedangkan,
kejahilan yang dimaksud di sini adalah kejahilan yang :
Meleyapkan
kesadaran akan tangung jawabnya terhadap meletakan amanah ilmu dan akhlak pada
tempatnya yang wajar, sehingga sanggup membiarkan saja kekeliruan dan berbagai
macam penyelewengan dalam ilmu dan amal terus mengharungi pemikiran dan
perbuatan para sarjana dan cendikiawan kita yang kebanyakan masih terbelanggu
pada gelang penghambaan ilmu-ilmu orientalis dan kolonial.[12]
Menurut
al-Attas, bermasalahnya peradaban Barat itu disebabkan Barat merumuskan pandangannya
terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada wahyu dan dasar-dasar
keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh
dasar-dasar filosofis (akal) semata.[13]
Al-Attas tidak mempermasalahkan para sarjana muslim belajar ke pada Barat,
namun para sarjana mesti cerdas dalam mengenal dan memahami peradaban dan
kebudayaan Barat itu sendiri. Kebanggaan yang berlebihan terhadap Barat akan
mengakibatkan melupakan Islam sebagai agama dan pandangan hidup yang
sejati akhirnya membawa kejahilan yang banyak dalam dunia Islam.
Al-Attas
mengajak umat Islam, khususnya para sarjana dan cendikiawan muslim untuk
mengenal dan memahami dengan benar peradaban Barat serta faham asas Barat yang
telah menyelinap masuk dan telah berhasil ditanamkan ke dalam pemikiran umat
Islam sehingga membawa krisis kepemimpinan umat Islam.[14]
Al-Attas menjelaskan bahwa peradaban Barat” adalah:
Hasil
warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno,
yang kemudian diaduk pula dengan campuran peradaban Rumawi dan unsur-unsur lain
dari hasil cita rasa dan gerak daya (proses) bangsa-bangsa Eropa sendiri,
khususnya dari suku-suku bangsa Jerman, Inggris dan Perancis.[15]
Adapun
yang dimaksud faham asas Barat yaitu faham sekularisme, al-Attas
mencatat bahwa sekularisme adalah “faham yang membebaskan pandangan
hidup manusia dari hubungan agama dan kemudian dari hubungan matafisika yang
mengatur akal dan bahasanya.[16]
Kemudian mengalihkan perhatian manusia dari alam yang lain di luar sana menuju
kepada alam dan masa kini.[17]
Menurut
al-Attas, kejayaan sekularisme meruncing pada abad ke17 sampai abad
ke-19 di Eropa, yang dikenal sebagai “European Enlightenment”. Pada
zaman ini seluruh pandangan hidup (worldview) Barat telah bermuara hanya
kepada kepentingan pengetahuan, kemanusiaan, kebendaan dan keduniaan semata
tanpa ada keterkaitan pada agama. Ini bisa dilihat dari dari karya-karya
tokohnya, misalnya, karya seorang filsuf sosiolog Perancis, Auguste Comte
(1798-1857) yang berjudul General View of Posotivism. Dalam buku ini,
Comte mengambarkan bahwa “sains akan bangkit dan agama akan jatuh”. Dalam hal
yang sama, dalam bukunya Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900),
seorang filsuf asal Jerman, juga mengambarkan “bahwa Tuhan telah mati (God
is dead)”.[18]
Sifat
sebenarnya dari sekularisme itu sangat berbahaya bukan hanya membawa kehancuran
bagi manusia dan pengetahuan, namun juga bagi alam tabii’.[19]
Bahayanya faham ini dikarenakan faham ini meyakini 5 unsur yang berbahaya,
yaitu:
Menyakini
akal semata sebagai satu-satunya pembimbing kehidupan; kepercayaan terhadap
faham dualisme; meyakini kehidupan sebagai realitas yang sekular;
Mengangkat faham humanism (faham yang mengangkat manusia setinggi-tingginya dan
menjatuhkan agama dan Tuhan serendah-rendahnya; menjadikan drama dan tragedi
sebagai satu kepercayaan yang mutlak dalam mempengaruhi peranan manusia di
dunia.[20]
Oleh
karena itu, antara Barat dan Islam terjadi perbedaan yang bertentangan mengenai
hakikat pandangan hidup (worldview). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
beliau dalam Risalah, bahwa:
Dibanding
dengan Islam, Barat tiada menjelaskan kaitan antara ilmu dan agama, hikmah dan
keadilan, akhlak dan budi pekerti. Mereka hanya menganggap bahwa Ilmu itu hanya
sebagai perkara akliah belaka, tanpa ada kaitannya dengan agama.[21]
Al-Attas
menjelaskan, satu hal yang harus diingat oleh umat Islam bahwa:
“Para
orientalis dan kolonial tidak pernah mengalah dan menyerah untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. Mereka
telah melakukan berbagai cara, mulai dari senjata dan kekuatan, sekarang mereka
mulai menjajah jiwa dan pemikiran umat Islam dan pemimpin-pemimpinya.[22]
Menurut
al-Attas, meng-Islamisasikan diri itu adalah suatu proses pembebasan yang
bersifat “devolusi” (devolution), yaitu suatu proses yang menuju
kembali pada hakikat asal manusia sebagai “ruh”. Dalam kondisi
pengenalan dan pemahaman ini, kelak akan lahir manusia universal atau manusia
sempurna (al-insanul kamil), sebagaimana tujuan dari Islam dan
konsep adab itu sendiri.
b. Menjadikan Adab Sebagai Istilah Pendidikan Islam
Menurut
al-Attas, kemunduran pendidikan Islam pertamakali disebabkan oleh pembatasan
makna-makna asli istilah ‘pendidikan’ yang tidak wajar ditempatkan oleh para
pakar pendidikan hari ini, sebagaimana yang dimaksud oleh orang-orang Islam
selama masa awal sejarah Islam. Istilah yang dimaksudkan oleh al-Attas tersebut
adalah istilah tarbiyah.[23]
Menurut al-Attas mengenai tidak tepatnya istilah tarbiyah dalam membawa
pendidikan Islam, akan disadari dengan sendirinya sesuai dengan ketepatan dan
kelogisan sumber dan konsep yang dibawanya. Kata al-Attas:
Pendidikan
dan proses pendidikan dalam pengertian Islam pada hakikatnya didefenisikan
dengan konsep ta’dib dan bukan dengan konsep tarbiyah. Saya tidak
perlu membuat sebarang apologi manakala mengakui keaslian konsepsi
gagasan-gagasan dan defenisi-defenisi baru yang saya perinci dan rumuskan di
sini serta dalam tulisan-tulisan saya terdahulu; karena keperluan akan
pengakuan seperti itu sekarang memang telah timbul. Yang saya maksudkan di sini
adalah kejadian-kejadian yang patut disesalkan, ketika para ulama, sarjana dan
intelektual muslim telah memasukan beberapa gagasan ini dalam tulisan-tulisan
mereka tanpa menunjukan sumbernya secara wajar ….[24]
Istilah
tarbiyah ini telah banyak digunakan dalam pendidikan hari ini. Ini dapat
dilihat dari buku-buku dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pendidikan.
Istilah tarbiyah ini telah menjadi akrab dalam kuliah-kuliah,
komperensi-komperensi, pertemuan-pertemuan, dan diskusi-diskusi para pemikir pendidikan
Islam. Tidak bisa dinafikan, bahwa para
pakar pendidikan yang mengunakan istilah tarbiyah ini sebenarnya juga
memiliki landasan yang kuat menurut mereka. Sikap para penganjur pengunaan
istilah tarbiyah yang terus mempertahankan istilah inilah, yang
mendorong al-Attas untuk menjelaskan bahwa istilah tarbiyah sungguh
tidak memadai untuk membawa konsep pendidikan dalam pengertian Islam
sebagaimana akan dipaparkan berikut ini:
Pertama,
istilah tarbiyah yang dianjurkan pengunaannya dalam pendidikan Islam
selama ini, tidak memilki akar kata yang jelas pada bahasa Arab. Meskipun,
al-Asma’i meriwayatkan bahwa Ibnu Manzhur mengunakan bentuk tarbiyah dari
akar raba dan rabba tersebut. Namun, menurut al-Jauhari,
penempatan tarbiyah yang disebutkan oleh al- Asma’i, memiliki pengertian
pemberian makan dan minum, pakaian, tempat berteduh, memelihara, mengembang,
membuat, menjadikan bertambah, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah
matang, menjinakkan dan mengasuh, yang kesemuanya bersifat materi dan fisik
semata, tanpa ada kaitan dengan pengetahuan (‘ilm) dan ruhani. Selain
itu, penerapan istilah tarbiyah ini tidak hanya sebatas pada manusia
semata, namun juga digunakan meluas kepada jenis-jenis lain, seperti mineral,
tanaman dan hewan. Seharusnya, istilah ini hanya dikhususkan pada manusia
semata, sehingga tidak disamakan penempatannya pada binatang dan jenis-jenis
makhluk yang lain.[25]
Berdasarkan
penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa penolakan al-Attas terhadap konsep tarbiyah
yang dianjurkan oleh para pakar pendidikan, menurutnya lebih bersifat
jasmani dan dibuat-buat serta pemaksaan semata.
Tindakan
yang disebut oleh al-Attas sebagai tindakan sekular. Harusnya konsep
pendidikan dalam pengertian Islam bukan hanya bersifat jasmani, namun juga
bersifat rohani. Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa istilah tarbiyah merupakan
istilah yang masih relatif baru, yang bisa dikatakan telah dibuat-buat oleh
mereka yang mengkait-kaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Dalam
pengamatanya, beliau berpendapat bahwa istilah tarbiyah pada hakikatnya
mencerminkan konsep pendidikan Barat. Istilah yang merupakan hasil terjemahan
yang jelas dari istilah pendidikan Barat, yaitu education. Istilah yang
pada prosesnya menghasilkan dan mengandung hal-hal yang bersifat fisik dan
materi semata. Bahkan, bersifat umum yang dapat digunakan meliputi berbagai
jenis hewan, tumbuhan dan bahan mineral tanpa ada batasan hanya pada “hewan
berakal yaitu manusia semata.[26]
Kedua,
penyandaran istilah tarbiyah yang mengacu pada sumber al-Qur’an
berkenaan dengan istilah raba dan rabba,seperti yang terdapat
pada surat al-Isra’ ayat 24 dan surat asy-Syu’ara ayat 18.
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil" Q.S. Al-Isra’ (17: 24).
Fir'aun
menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu
kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari
umurmu. Q.S. Asy-Syu’ara (26: 18).
Al-Attas
sangat menyayangkan ketika mereka telah memasukan ayat al-Qur’an untuk
mendukung pandangan mereka. Karena penyandaran tersebut tidak didukung dengan
pemahaman yang cermat, kritis dan mendalam terlebih dahulu sehingga menunjukan hasil
yang tidak wajar. Di samping itu, menurut beliau konsep tarbiyah tidak
mencangkup pengetahuan dan amal, meskipun ada mengadakan hal itu hanya
merupakan sebuah pemaksaan dan pembelaan semata terhadap konsep tarbiyah.[27]
Menurut
al-Attas, ayat di atas bukanlah dimaksudkan dengan pendidikan sebagaimana yang
difahami dalam pengertian Islam, namun hanya dikaitkan pada tindakan tarbiyah
orang tua kepada anak-anaknya, yakni hanya sebatas tindakan memberikan rahmah.
Rahmah dalam artian, memberikan makan, kasih sayang, pakaian, tempat
berteduh, dan perawatan. Kondisi ini hanya mengacu lebih kepada kondisi-kondisi
fisik, material atau jasmaniah semata. Tindakan-tindakan orang tua kepada
keturunannya inilah dinamakan tarbiyah.[28]
Adapun
pemakaian kalimat rabbayani pada setiap do’a kita, seperti:
“irhamhumakama
rabbayani shaghira” (rahmatilah mereka sebagaimana mereka telah
membesarkanku diwaktu kecil) merupakan bahasa balasan. Supaya Allah SWT
memberikan rahmat-Nya kepada kedua orang tuanya sebagaimana orang tuanya telah
berjasa mengasuh, membesarkan dan menjaga mereka. Hal ini diambil dari
pemakaian huruf kaf yang terdapat pada kalimat tersebut, yang merupakan kaf
at-tasybih yakni sebagai ‘perbandingan’.58 Tindakan-tindakan orang tua
kepada anaknya ini, hanya mengacu kepada kondisi jasmaniah atau fisik dan
materi semata, tidak mengacu kepada kondisi ‘pengetahuan’ dan ruhaniah
sebagaimana yang dimaksudkan dalam pengertian pendidikan Islam. Penjelasan ini,
dapat dikembangkan dengan memahami firman Allah SWT dalam al-Qur’an al-Karim,
surat asy-Syu’ara ayat 18.
Fir'aun
berkata: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu
kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari
umurmu. Q.S. Asy-Syu’araa’ (26:18)
Menurut
al-Attas, tidak logis seorang Fir’aun yang mengaku dirinya Tuhan memberikan
pendidikan ‘pengetahuan’ dan ‘ruhaniah’ kepada Nabi Musa as. Jika lafal nurrabi
yang terdapat pada ayat di atas diartikan “mendidik”, tentu Fir’aun
mendidik Nabi Musa as supaya menyembah dirinya. Kenyataannya tidak, sebagaimana
diketahui bahwa Nabi Musa as adalah seorang muslim yang sangat taat menyembah
Allah SWT dan seorang penentang keras Fir’aun. Kecerdasan dan keimanan Nabi
Musa as yang agung, bukanlah hasil dari didikan Fir’aun, tetapi hasil dididik
dari Allah SWT. Dengan demikian tidaklah pantas jika dikatakan Fir’aun telah
mendidik Nabi Musa as., meskipun kenyataannya Fir’aun dari pengunaan ungkapan nurabbika
memang melakukan tarbiyah atas Nabi Musa as. Namun tarbiyah dalam
hal ini, memiliki arti hanya membesarkan, mengasuh dan menjaga, serta
mencukupkan kebutuhan jasmaniah dan materinya semata, tanpa mencangkup
penanaman ‘pengetahuan’ dan ‘ruhaninya’.[29]
Ketiga,
bila suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan bisa disusupkan ke dalam
konsep rabba, maka makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan
bukan pada penanamanya. Penyusupan yang dimaksudkan adalah istilah rabbani
yaitu nama yang diberikan kepada orang-orang bijaksana lagi terpelajar
dalam bidang pengetahuan tentang ar-rabb. Seperti riwayat yang datang
dari Muhammad al-Hanafiyah yang menyebut Ibnu Abbas sebagai rabbani umat.
Riwayat lain, bahwa Ali bin Abi Thalib telah mengelompokan manusia ke dalam
tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah ‘alim rabbani. Ibnu Atsir juga
berpendapat bahwa istilah rabbani yang diturunkan dari ar-Rabb memilki
pengertian sebagai tarbiyah, pengertian untuk memberikan penegasan pada
maknanya. Ibnu ‘Ubaid juga berpendapat bahwa istilah rabbani pada
dasarnya tidak dikenal dikalangan orang banyak, kecuali dikalangan para ilmuan
dan ahli hukum. Alasanya, istilah ini pada hakikatnya bukanlah istilah bahasa
arab, melainkan istilah Ibrani atau Siriac. Hal ini dapat ditemukan di dalam
al-Qur’an, ada tiga penyebutan rabbani dan kesemuanya mengacu kepada
rabbi-rabbi Yahudi yaitu Surat Ali Imran (3:79), surat al-Ma’idah (5:79 dan
66).[30]
Berdasarkan
penjelasan di atas, terlihat bahwa al-Attas memiliki pemikiran yang berbeda
dengan para pemikir pendidikan Islam lainnya dalam mengukuh dan mengakui
istilah yang benar untuk membawa konsep pendidikan Islam. Melihat dari
argumen-argumen yang dikemukakan al-Attas di atas, menjadi dasar yang cukup
logis bagi penolokannya terhadap konsep tarbiyah. Satu hal yang harus
difahami bagi seorang muslim, penempatan istilah bagi pendidikan dalam
pengertian Islam adalah bukan hanya sebatas penempatan pengasuhan pada
kondisi-kondisi fisik atau jasmaniah dan material semata. Namun juga penanaman
kondisi ‘pengetahuan’ dan kondisi ruhaniah. Selain itu, istilah yang dipakai
bagi pendidikan Islam tersebut, seharusnya dikhususkan hanya diberikan dan
ditempatkan bagi manusia semata.
c. Melalui Proses Pengajaran dan pembelajaran (praktek atau aplikasi)
Menurut
al-Attas, untuk menciptakan adab dalam diri manusia, maka hal ini dapat
ditanamkan lewat proses ‘pengajaran dan pembelajaran’. Penanaman ‘pengajaran
dan pembelajaran’ ini mesti dilakukan sejak dini. Anak dibiasakan dengan adab
dengan kepribadian yang mulia, yakni kepribadian Rasulullah saw sebagai contoh
terbaik untuk mensucikan atau membentuk kepribadian setiap anak. Proses ini
harus berterusan hingga anak tersebut mencapai umur mumayyiz, proses ini
berlanjut untuk melatih jiwa akal atau pikirannya sehingga dapat berfungsi
dalam membedakan antara sesuatu yang baik dan buruk. Latihan dan kebiasaan ini
merupakan suatu proses bagi kesempurnaan jiwa akalnya dan ruhani anak sampai
waktu usia matangnya (baligh). Sewaktu jiwa akalnya dan ruhaninya telah
berfungsi maka mulailah baginya menuntut ilmu yang sebenarnya, yakni ilmu wajib
(fardu ‘ain) dan memilih ilmu sesuai potensi dan bakatnya kepada ilmu
pengkhususan (fadhu kifayyah).[31]
Pentingnya
ilmu tersebut, karena diharapkan ilmu itu dapat menjadi cahaya (nur)
yang menerangi dan memberikan kekuatan bagi jasmani, akal dan ruhaninya.
Manusia yang terdidik adalah manusia yang beradab. Mereka inilah yang
senantiasa dibimbing dan dianugerahkan ilmu yang sejati.[32]
Hal ini sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an:
Dan
Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!". Q.S. Al-Baqarah (2: 31).
Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki… Q.S. An-Nur (24: 35).
Kata
al-Attas, manusia yang beradab adalah manusia yang memilki ilmu dan amal yang
benar.[33]
Sehingga mereka dapat menempatkan sesuatu pada penilaian-penilaian yang benar
sesuai pada tempat-tempat yang tepat.[34]
Dengan terserapnya adab dalam diri kelak ia akan dapat mengenal dan memahami
bahwa dirinya juga memiliki tangungjawab terhadap ilmu pengetahuan. Ia mesti
bersikap amanah, jujur, adil dan bijaksana dalam mununjukan sumber yang benar
dan tepat dalam menempatkan ‘pengetahuan’ sehingga tidak menyesatkan dan
menutupi umat manusia pada hal yang salah.[35]
Selain itu, manusia yang beradab juga akan memberikan ketulusan rasa penghormat
kepada para ilmuan mengikuti keutamaan bidang dan pencapaian keilmuan dan
kerahanianya masing-masing.[36]
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT dalam Firman-Nya:
Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir Q.S. Al-Baqarah (2:34).
Selain
itu, manusia yang beradab akan dapat mengenal dan memahami bahwa alam tabii adalah
sebagai tanda-tanda dari Allah SWT.[37]
Alam tabii adalah sebuah “Buku” yang agung dan hanya manusia yang
beriman, berilmu dan beramal yang sejati saja yang hanya mengetahui dan
memahami makna dari alam tersebut.[38]
Manusia yang beradab adalah wakil Allah (khalifah) dan pewaris “Kerajaan
Alam-Nya”. Ia diserukan untuk dapat berlaku adil dalam menjaga dan memanfaatkan
alam semesta pada arah yang baik. Bukan sebaliknya, merusak atau berlaku lancang
dan biadab kepadanya. Ia juga dituntut untuk memahami secara benar hakikat dari
Kerajaan Alam-Nya, supaya manusia dapat mengetahui dan menghargai dengan penuh
kesyukuran atas kemurahan dan kebijaksanaan yang tiada batas dari “Sang Penulis
Buku” yang Maha Agung.[39]
d. Mengenal Hakikat Manusia
Menurut
al-Attas, berbicara tentang pendidikan yang baik, maka hal itu mesti
dihubungkan dengan hakikat manusia. Karena antara keduanya memiliki hubungan
yang sangat kuat.[40]
Dalam Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang terbaik dan lebih
sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah SWT lainnya. Hal ini
dikarenakan manusia diberi beberapa kelebihan. Kata al-Attas, manusia diberikan
dua hakikat dan dua jiwa. Dua hakikat itu adalah jiwa dan raga atau jasmani dan
ruhani. Sedangkan, dua jiwa itu adalah jiwa yang tinggi disebut jiwa akali (al-nafs
al-nātiqah) dan jiwa yang rendah disebut jiwa hewani (al-nafs
al-hayawāniyyah). Selain itu, manusia juga dianugerahkan “ilmu”.
Beberapa kelebihan tersebut, diharapkan dapat menuntun dan mengarahkan manusia
mengenal dan memahami “hakikat tujuan” penciptaan dirinya.[41]
Dalam
Islam, semua potensi atau kelebihan-kelebihan manusia itu, mesti diarahkan pada
unsur ruhaninya. Merujuk kepada unsur ruhani ini, senantiasa menghasilkan kesan
langsung atas diri jasmaniahnya, sehingga membawa kemuliaan kepadanya.[42]
Pengarahan kepada unsur ruhani ini, senantiasa juga mengarahkan diri manusia
untuk mengingat kembali kepada “Perjanjinya kepada Allah SWT dan tujuan
penciptaan dirinya.[43]
Al-Attas menjelaskan bahwa pengenalan manusia terhadap tujuan tersebut, mesti
dibimbing dengan ilmu dan proses pendidikan yang baik, yaitu bersumber kepada
pengertian Islam yang dibawa dan diajarkan nabi Muhammad saw. Hal ini
sebagaimana Nabi saw sendiri mengatakan dalam sebuah hadis bahwa “Allah SWT
telah mendidik diriku dengan demikian didikanku yang terbaik.[44]
Dalam
pendidikan Barat, hakikat manusia dijatuhkan pada sifat kehinaan dan
“membumikan” (terrestrialization) sifat manusia pada hal-hal yang
bersifat materi semata tanpa ada kaitannya dengan nilai-nilai agama dan
Keilahian. Akibatnya, manusia terbelenggu dan diturunkan secara hina di dunia
ini.
[1] Al-Attas,
Konsep Pendidikan Dalam Islam. Terj. dari Bahasa Inggris oleh Haidar
Bagir (Bandung: Mizan, 1996), h. 60.
[2] Luis
Ma’ruf, Kamus Al-Munjid, Al-Maktabah Al-Katulikiyah (Beirut, tt), h.
194; Husin Al-Habsyi, Kamus Al Kautsar (Surabaya: Assegraff, tt), h. 87.
[3]
Sahilun A. Nasir, Tinjauan Akhlak, Cet. 1 (Surabaya: Al Ikhlas, 1991),
h. 14.
[4]Al-Attas,
Konsep Pendidikan, h. 61-62.
[5] Hadis
dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, alHakim dan al-Byhaqi. Lihat
Wahbah Az-Zuhaili, Enskilopedia Akhlak Muslim (Jakarta: Noura Books,
2014), h. v.
[6] Sunan
Abu Daud dan Musnad Ahmad ibn Hambal. Lihat Wan Daud, Masyarakat Islam Hadari
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h. 152.
[7]
Al-Attas, Konsep Pendidikan h. 52-53, 74-75 dan 83.
[8]
Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslim (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), h. 54.
[9]
Al-Attas, Islam dan Sekularisme. Terj. dari Bahasa Inggris oleh Khalif
Muammar (Bandung: PIMPIN, 2010), h. 184.
[10]
Al-Attas, Risalah, h. 54.
[11]
Lihat Al Attas, Islam dan Sekularisme, h. 54-55.
[12]
Al-Attas, Risalah, h. vii.
[13]
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 167.
[14]
Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 76; Islam dan Sekularisme, h.
130.
[15]
Al-Attas, Risalah, h. 20; Islam dan Sekularisme, h. 166.
[16] Definisi
ini diberikan oleh Cornelis van Peursen, seorang ahli teologi Belanda yang menyandang
jabatan ketua bidang filsafat di Universitas Leiden. Defenisi ini telah dicatat
dalam laporan konferensi yang diadakan di Ecumenical Institut di Bossey, Switzerland
pada September tahun 1959. Lihat al-Attas, Islam dan Sekularisme, h.
18-19; Risalah, h. 197; Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam
(Pulau Pinang: Penerbit USM, 2007), h. 52.
[17] Definisi
ini diberikan oleh Harvey Cox, seorang ahli teologi Harvard di dalam bukunya The
Secular City. Lihat al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 20.
[18]
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 2 dan 45; Risalah, h.
204-205.
[19] “Alam
tabii” yang dimaksud adalah alam lahiriah (hewan, tanaman dan bahan galian). Lihat
al-Attas, Islam dan Filsafat Sains. h. 18; Islam dan Sekularisme,
h. 60.
[20]
Lihat al-Attas, Islam dan Sekularisme. h. 167, 169-170; Risalah, h.
198-199 dan 201, 205.
[21]
Al-Attas, Risalah, h. 59.
[22]
Ibid., h. vii-viii.
[23]
Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 11 dan 79-81.
[24]
Ibid., h. 10.
[25]
Al-Attas, Pendidikan Islam, h. 66-67.
[26]
Ibid., h. 64-65.
[27]
Ibid., h. 10-11.
[28]
Ibid., h. 70.
[29]
Ibid., h. 72.
[30]
Ibid., h. 72-74.
[31]
Ibid., h. 85-86.
[32]
Ibid., h. 42.
[33]
Ibid., h. 60.
[34]
Ibid., h. 49.
[35]
Ibid., h. 11.
[36]Al-Attas,
Islam dan Sekularisme, h. 161-162.
[37] “Alam
tabii” yang dimaksud adalah alam lahiriah. Lihat al-Attas, Islam dan
Filsafat Sains. Terj. dari Bahasa Inggris oleh Saiful Muzani (Bandung:
Mizan, 1995), h. 18.
[38]
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 46.
[39]
Ibid., h. 46-47.
[40]
Al-Attas, Konsep pendidikan, h. 87-88.
[41]
Lihat Al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 172-173.
[42]
Ibid., h. 55.
[43]
Tujuan hakikat manusia itu sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an:
Dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku. Q.S. Adz
Dzariyat (51): 56.
[44]
Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 60 dan 78.